Manusia dan Kebudayaan
Manusia dikarunia tuhan dengan kecerdasan otak dan akal. Manusia juga mempunyai nafsu dan hasrat.Hasrat akan menambah hasil usahanya guna mempermudah kehidupannya, hasrat akan keindahan yang akan menimbulakan kesenian, hasrat akan hasrat untuk mengetahui yang memunculkan ilmu pengatahuan, juga hasrat untuk memenuhi kebutuhan batinnya yang menghasilkan ciptaan-ciptaan. Segala ciptaan manusia inilah yang sesungguhnya hanyalah hasil usahanya untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru kepada pembaerian tuhan sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya, dan itulah yang dinamakan kebudayaan. Kebudayaan inilah yang selalu berubah-ubah, karena adanya faktor dari luar yang mungkin perubahan itu sangat besar dan luas, sehingga timbul kebudayaan baru. Kebudayaan indonesia yang sekarang ini juga merupakan hasil dari perkembangan dari masa ke masa.
Manusia dikarunia tuhan dengan kecerdasan otak dan akal. Manusia juga mempunyai nafsu dan hasrat.Hasrat akan menambah hasil usahanya guna mempermudah kehidupannya, hasrat akan keindahan yang akan menimbulakan kesenian, hasrat akan hasrat untuk mengetahui yang memunculkan ilmu pengatahuan, juga hasrat untuk memenuhi kebutuhan batinnya yang menghasilkan ciptaan-ciptaan. Segala ciptaan manusia inilah yang sesungguhnya hanyalah hasil usahanya untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru kepada pembaerian tuhan sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya, dan itulah yang dinamakan kebudayaan. Kebudayaan inilah yang selalu berubah-ubah, karena adanya faktor dari luar yang mungkin perubahan itu sangat besar dan luas, sehingga timbul kebudayaan baru. Kebudayaan indonesia yang sekarang ini juga merupakan hasil dari perkembangan dari masa ke masa.
Bupati Prihatin Kondisi Anak Muda Zaman Now, Orangtua Diminta Lakulan Ini?
SAMPIT – Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah (Kalteng) Supian Hadi prihatin terhadap kondisi para generasi muda yang mulai mengalami degradasi citra dirinya sebagai anak bangsa. “Tidak jarang sekali kita melihat anak-anak kita bergaya seperti kebudayaan luar, mengikuti tarian-tarian barat, dan tanpa di sadari mereka mulai menghilangkan Budaya Indonesia, oleh sebab itu peran orang tua sangat penting untuk mendampingi anaknya mengenalkan kebudayaan Indonesia, jangan sampai anak-anak kita tidak mengenal Budaya Indonesia,” ucap Supian Hadi Saat membuka Festival Habaring Hurung, Minggu (10/3/2019).
Supian Hadi mengungkapkan, kebudayaan sopan santun terhadap orangtua juga mulai menghilang, tidak hanya itu saja cara berpakai juga demikian.
“Jangan sampai kebudayan barat terus di ikuti oleh anak-anak kita, sebab nantinya akan berdampak negatif bagi dirinya, karena sekarang ini banyak anak remaja yang mulai tidak sopan kepada orangtua, dan banyak juga anak-anak menggunakan pakaian ala-ala barat dan mengikuti tarian barat,” tambahnya.
Supian Hadi berharap, orangtua harus berperan aktif untuk memperkenalkan kepada anaknya begaimana Budaya Indonesia, karena Budaya Indonesia sangat banyak seperti adat sopan santun, berpakaian, tarian tradionasl dan lainnya, pastinya dengan seperti itu mereka juga ikut melesetarikannya dan menerapkan didalam dirinya.
Bisa dilihat dari kutipan di atas bahwa budaya barat lebih disukai remaja di jaman sekarang ini, sebab nya dari banyak nya tontonan TV dan social media yang kerap kali menayangkan trend-trend budaya barat ke kalangan remaja. Ditambah dengan perkembangan zaman banyak juga anak-anak kehilangan masa bermain dengan temannya hanya dengan gadget, jika kita bisa mundur 15-20tahun kebelakang dimana zaman itu kebudayaan Indonesia sangat populer hingga ke mancanegara banyak budaya Indonesia yang di klaim oleh negara tetangga karna memang budaya Indonesia itu sangat unik dan ragam bentuknya.
Punahnya Budaya Karena Perubahan Zaman
Jakarta, era.id - Kepunahan adalah sebuah akhir dari fase sebuah keadaan. Dari yang ada menjadi tiada, dari yang lahir kemudian hilang. Dalam beberapa aspek, kepunahan sering kali diidentikkan dengan ketiadaan peran untuk menjaga hal-hal yang diharapkan tetap hidup.
Di Indonesia, kepunahan budaya seharusnya tidak terjadi apabila negara mampu menegakkan konstitusi secara utuh. Pada pasal 32 ayat 1 dan 2 UUD 1945, tertera sebuah amanat yang menyatakan pemerintah berkewajiban memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.
Penulis Srihadi dalam Jurnal Ilmiah Pawiyatan dengan judul Pelestarian Budaya Nasional Melalui Kegiatan Tradisional (2013) menyatakan, pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab mempertahankan budaya nasional dan lokal dari globalisasi, terlebih sentimen mempertahankan budaya lokal sering kali identik dengan sifat gengsi dan malu yang dirasakan masyarakat saat ini.
"Seiring dengan kemajuan zaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada awalnya dipegang teguh, di pelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku dan daerah, kini terasa sudah hampir punah,” tulis Srihadi.
Peran pemerintah dalam menjaga budaya Indonesia nampaknya bukan semata-mata obrolan ketakutan. Statistik Kebudayaan 2016 yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat total kesenian yang diperkirakan akan punah mencapai 167. Antara lain adalah seni pertunjukan sebanyak 30 buah, seni rupa (1), seni musik (33), seni tari (58), teater (6), kriya (1), tradisi lisan (1), sastra lisan (5), permainan rakyat (4), tutur (20), beladiri tradisional (4), dan tradisi (2).
Salah Globalisasi?
Globalisasi sering dianggap biang kerok punahnya budaya lokal. Sutiyono, akademisi Universitas Negeri Yogyakarta dalam jurnalnya yang berjudul Tantangan Seni Tradisional di Tengah Arus Globalisasi menyatakan, di era globalisasi, budaya lokal yang bertahan sering kali mencirikan produksi seni yang sesuai dengan kepentingan pasar.
"Para seniman tradisional tertantang memenuhi permintaan masyarakat. Segala bentuk karya seni yang berasal tradisi lokal tentu akan mempertimbangkan juga permintaan pasar," tulisnya. Oleh karena itu nilai yang seharusnya dibangun oleh sang seniman akan berubah arah, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan pemesannya.
Dalam jurnal tersebut, Sutiyono membahas kondisi pengangkatan kesenian Jathilan, tarian tertua di Pulau Jawa yang juga dikenal dengan nama Jaran Kepang. Tarian ini memperlihatkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda sambil menghunus sebuah pedang.
Jathilan juga diiringi alat musik gendang, bonang, saron, kempul, slompret dan ketipun. Dalam sajian aslinya, durasi yang dibutuhkan untuk menampilkan Jathilan yaitu selama enam jam, dari jam 12.00 siang hingga jam 18.00 sore.
Tetapi saat ini, industri memengaruhi pola penyajian Jathilan. Misalnya saat memasuki industri rekaman dalam format audio visual, durasinya dipersingkat menjadi satu jam dan dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan dengan harga lima ribu rupiah. Sementara dalam industri pariwisata, lama pertunjukan dikemas menjadi hanya satu setengah jam.
Ini menunjukkan, pencemaran nilai tradisional dan komersialisasi yang mengikis esensi dari pertunjukan tersebut telah terjadi. Di satu sisi, ini merupakan upaya pelestarian seni tradisional yang hampir punah. Tetapi di sisi lain, tidak sedikit para wisatawan kritis yang mempertanyakan latar belakang dan keaslian seni Jathilan. Mereka kecewa ketika melihat kesenian tiruan.
Di Indonesia, kepunahan budaya seharusnya tidak terjadi apabila negara mampu menegakkan konstitusi secara utuh. Pada pasal 32 ayat 1 dan 2 UUD 1945, tertera sebuah amanat yang menyatakan pemerintah berkewajiban memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia.
Penulis Srihadi dalam Jurnal Ilmiah Pawiyatan dengan judul Pelestarian Budaya Nasional Melalui Kegiatan Tradisional (2013) menyatakan, pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab mempertahankan budaya nasional dan lokal dari globalisasi, terlebih sentimen mempertahankan budaya lokal sering kali identik dengan sifat gengsi dan malu yang dirasakan masyarakat saat ini.
"Seiring dengan kemajuan zaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada awalnya dipegang teguh, di pelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku dan daerah, kini terasa sudah hampir punah,” tulis Srihadi.
Peran pemerintah dalam menjaga budaya Indonesia nampaknya bukan semata-mata obrolan ketakutan. Statistik Kebudayaan 2016 yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat total kesenian yang diperkirakan akan punah mencapai 167. Antara lain adalah seni pertunjukan sebanyak 30 buah, seni rupa (1), seni musik (33), seni tari (58), teater (6), kriya (1), tradisi lisan (1), sastra lisan (5), permainan rakyat (4), tutur (20), beladiri tradisional (4), dan tradisi (2).
Salah Globalisasi?
Globalisasi sering dianggap biang kerok punahnya budaya lokal. Sutiyono, akademisi Universitas Negeri Yogyakarta dalam jurnalnya yang berjudul Tantangan Seni Tradisional di Tengah Arus Globalisasi menyatakan, di era globalisasi, budaya lokal yang bertahan sering kali mencirikan produksi seni yang sesuai dengan kepentingan pasar.
"Para seniman tradisional tertantang memenuhi permintaan masyarakat. Segala bentuk karya seni yang berasal tradisi lokal tentu akan mempertimbangkan juga permintaan pasar," tulisnya. Oleh karena itu nilai yang seharusnya dibangun oleh sang seniman akan berubah arah, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan pemesannya.
Dalam jurnal tersebut, Sutiyono membahas kondisi pengangkatan kesenian Jathilan, tarian tertua di Pulau Jawa yang juga dikenal dengan nama Jaran Kepang. Tarian ini memperlihatkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda sambil menghunus sebuah pedang.
Jathilan juga diiringi alat musik gendang, bonang, saron, kempul, slompret dan ketipun. Dalam sajian aslinya, durasi yang dibutuhkan untuk menampilkan Jathilan yaitu selama enam jam, dari jam 12.00 siang hingga jam 18.00 sore.
Tetapi saat ini, industri memengaruhi pola penyajian Jathilan. Misalnya saat memasuki industri rekaman dalam format audio visual, durasinya dipersingkat menjadi satu jam dan dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan dengan harga lima ribu rupiah. Sementara dalam industri pariwisata, lama pertunjukan dikemas menjadi hanya satu setengah jam.
Ini menunjukkan, pencemaran nilai tradisional dan komersialisasi yang mengikis esensi dari pertunjukan tersebut telah terjadi. Di satu sisi, ini merupakan upaya pelestarian seni tradisional yang hampir punah. Tetapi di sisi lain, tidak sedikit para wisatawan kritis yang mempertanyakan latar belakang dan keaslian seni Jathilan. Mereka kecewa ketika melihat kesenian tiruan.
Bisa dibilang sekarang budaya Indonesia termakan oleh zaman karna tidak seimbangnya pesatnya teknologi hingga banyak yang melupakan budaya tradisional di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu kita bisa melestarikan budaya Indonesia dengan lebih meng-edukasi anak-anak di era globalisasi ini untuk memperkenalkan lebih dalam budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, Dengan demikian generasi muda dapat mengetahui kebudayaan nya sendiri. Pemerintah juga dapat lebih memusatkan perhatian pada pendidikan kebudayaan daerah. Sepertinya masih banyak cara untuk melestarikan budaya dan yang lebih penting akan kesadaran masyarakat terhadap kebudayaan yang sudah ada dari masa lampau.
Mungkin cukup sekian dari saya untuk menanggapi terhadap kebudayaan dikalangan masyarakat saya ucapkan Terimakasih.
Sumber-sumber yang terkait :
Komentar
Posting Komentar